Kliping Media
Ada istilah mengatakan "Jika ke tanah Papua tapi belum ke Wamena, belumlah lengkap". Guyonan itu sekilas mengada-ada, namun jika kita pergi ke Kota Wamena yang terletak di Lembah Balliem ini baru kita dapat memahami.
Kota Wamena dan sekitarnya di kabupaten Jayawijaya ini berada di Kelilingi Gunung daerah pegunungan Jayawijaya merupakan Kawasan tujuan wisata di prop. Papua dikarenakan keadaan alam yang indah dan masyarakat yang unik yang jarang dijumpai di Daerah lain di Nusantara.
Keadaan Topografi Lembah Baliem cukup rata sehingga di Kota Wamena banyak di jumpai becak seperti di Jawa. Jika dilihat dari pesawat udara akan terlihat Jayawijaya ibarat suatu kuali besar (lembah) diatas dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1550 meter diatas permukaan laut. Suhu cukup sejuk ….atau dingin, suhu rata-rata harian dalam satu tahun berkisar 190C. Jadi jangan lupa bawa jaket tebal untuk persiapan malam hari. Lembah ini dinamakan lembah baliem karena terdapat Sungai Baliem yang berliku-liku seperti ular. Anugrah sungai baliem ini meyebabkan derah ini cukup subur dan potensial dikembangkan menjadi areal persawahan dan perkebunan.
Ketika penumpang menginjakkan kakinya di Bandara Wamena setelah terbang 55 menit dari bandara Sentani Jayapura maka penumpang akan langsung disuguhi pemandangan alam yang luar biasa. Di dalam Kota dan sekitar bandara akan di jumpai masyarakat lokal yang masih tradisional, dengan berpakaian hanya mengenakan "koteka" yang hanya menutupi batang kemaluan laki-laki saja dan dikikatkan ke pinggang. Jika anda masuk ke desa-desa atau pedalaman masyarakat yang mengenakan koteka ini lebih banyak dijumpai. Anda pasti berfikir apakah mereka tidak kedinginan…..?.
Masyarakat di lembah baliem ini merupakan masyarakat agraris dengan bercocok tanam secara tradisional dan berpindah-pindah untuk memperoleh tanah subur atau humus pada lahan baru. Makanan pokok bagi masyarakat lokal yaitu Ubi jalar atau biasa disebut "Hipere". Mereka menjadikan "ipere" sebagai makanan pokok sejak nenek moyang mereka karena mudah di budidaya dan tidak memerlukan biaya perawatan. Selain ipere mereka juga menanam singkong, kacang panjang, jagung, dan padi. Padi banyak di jumpai di Daerah irigai elagaima (Muoai), Tulem, Muliama dan Holkima. Mereka menggunakan alat pertanian dengan kayu cangkang (kayu bengkok), parang dan sekop. Mereka tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Kampak digunakan untuk menebang pohon dan membelah kayu untuk kayu bakar dan pagar.
Areal ladang atau sawah sebelum ditanam dipagar keliling terlebih dahulu untuk menghindari gangguan hama dan babi ternak, dengan pagar yang cukup rapat dan unik. Pagar ini biasa disebut "Geler". Geler ini merupakan pagar yang khas di wamena. Geler terbuat dari kayu kasuari (sejenis cemara) yang kayunya amat keras. Kayu kasuari dibelah-belah dan ditancapkan ketanah kemudian di ikat satu sama lain dengan tali Kelokop (jagat) sejenis bambu tapi berukuran kecil. Pagar yang sudah jadi kemudian bagian atasnya ditutup dengan rumput kering dan akar-akaran agar kayu dan tali tidak mudah rapuh akibat perubahan cuaca atau hujan. Pagar ini dapat bertahan lama hingga mencapai 3 tahun.
Rumah adat masyarakat wamena yaitu berbentuk lingkaran dengan penutup alang alang yang cukup tebal (> 10 cm). Rumah ini disebut "HONAI", Honai ini sering dijadikan simbol rumah adat khas Papua. Jika anda masuk kedalam Honai ini maka didalam cukup hangat dan gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Dimalam hari mereka menggunakan penerangan kayu bakar di dalam honai dengan menggali tanah didalammnya sebagai tungku, selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika tidur mereka tidak mengunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.
Dalam satu komplek perumahan dihuni satu keluarga dan terdapat beberapa Honai. Jumlah Honai menandakan jumlah istri yang ada, di sini banyak dijumpai laki-laki lebih dari satu istri terutama kepala suku atau Ondoafi.
Babi ternak banyak dijumpai di Wamena, babi seolah sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Acara pernikahan umumnya maskawin dengan minimal 5 (lima) ekor babi dan satu buah Noken. (Noken adalah sejenis tas tradisional yang terbuat dari tali noken / kulit kayu). Tas noken biasanya digunakan sebagai tas multi fungsi, baik untuk membawa ipere, daun ipere atau perbekalan ke kebun / sawah. Tapi noken juga sering digunakan untuk menggendong anak bayi atau menggendong anak babi. Dahulu masih banyak dijumpai para wanita yang menyusui bayi babi.
Suku asal masyarakat Wamena adalah suku Dhani yang amat terkenal di seluruh papua karena kebiasaan berperang, yang konon katanya Suku Dhani dan Suku Asmat merupakan suku asli bumi Cendrawasih Papua. Mereka sangat lihai menggunakan panah dan ketapel. Selain panah dan ketapel dahulu kala mereka menggunakan parang yang terbuat dari batu dan pisau tusuk yang terbuat dari tulang–belulang. Tulang yang biasa digunakan adalah tulang kaki burung Kasuari. Namun perang suku saat ini sudah jarang terjadi, yang ada adalah Perang-perangan di dataran luas yang telah disediakan. Acara tarian tradisional dan perang-perangan dilaksanakan setahun sekali atau untuk menyambut tamu kehormatan. Acara ini sekarang dikemas semacam festival perang-perangan di ikuti oleh suku-suku di Wamena, untuk menggenang peristiwa perang suku yang biasa dilakukan nenek moyang mereka waktu dulu, sejaligus unjuk kehebatan yang dilihat para penonton. Acara ini "Perang-perangan" ini digelar setiap menyambut 17 Agustus untuk memperingati HUT Proklamasi dan dibiayai oleh pemerintah daerah dalam rangka menjaga tradisi dan budaya serta menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan mancanegara. Acara ini sangat unik dan menarik, banyak sekali di hadiri wisatawan asing dan mengabadikan dalam bentuk film, umumnya arus turis meningkat hingga hotel-hotel penuh dan harus memesan terlebih dahulu.
Selain alam, seni budaya, dan cara budidaya yang menarik di wamena adalah bahasa. Anda akan merasa asing dengan bahasa mereka. Namun saat ini mereka umumnya sudah dapat berbahasa Indonesia, bahkan sampai di daerah terpencil. Umumnnya mereka belajar bahasa Indonesia dari sekolahan dan gereja. Banyak dijumpai gereja disini, meskipun di Wilayah kota juga terdapat beberapa Masjid yang dibuat oleh para pendatang dan Tentara. Perbedaan agama dan adat tidak menjadi masalah bagi masyarakat Kota wamena atau Papua secara umum, mereka dapat membaur menjadi satu.
Jika anda berjalan-jalan di pelosok ada pantangan atau hal yang jangan anda lakukan yakni memanjat pagar geler tanpa permisi atau ijin, kencing atau berak di sungai, dan memotret tanpa ijin. Kalau handy camp gak apa-apa , mereka malah senang dikira bakalan masuk TV atau Koran Cepos.Mereka bisa marah dan berabe lho…………Kebiasaan mereka memanfaatkan air sungai secara langsung untuk minum dan mandi menyebabkan mereka amat menjaga kebersihan sumber air baku. Jika anda melanggar pantangan tersebut anda bisa kena denda dengan jumlah yang besar. Awas , Kalau mobil anda menabrak babi sampai mati siapkan aja uang dalam jumlah besar karena babi disini harganya lebih dari nyawa manusia.
Inilah sekilas tentang Wamena yang berada di Lembah Baliem, jika anda kesini seolah anda berada di dunia lain. Banyak obyek wisata menarik. Ada …… Sungai dan Muara baliem yang membentang luas bagaikan bengawan Solo yang banyak terdapat ikan dan udang bercapit besar (Udang selingkuh dengan kepiting), terdapat Orang ber"koteka", Rumah Honai dan pagar gelernya, ada Mummi yang berusia lebih dari 350 tahun lalu, pasar tradisional yang menjual hasil perkebunan rakyat". Fasilitas bagai wisatawan di kota Wamena cukup memadai. Disini transportasi cukup lancar baik angkutan umum dan becak dengan tarif yang murah, terdapat hotel mewah dengan tarif < Rp. 500 000 per hari dan hotel melati < 150 000 per hari, komunikasi juga cukup lancar disini sudah terdapat TELKOM dan Signal Simpati. Jangan kuatir kita dapat SMS setiap waktu, Pesawat dari Jayapura ke Bandara Wamena ada setiap hari yakni angkutan umum oleh MERPATI dan TRIGANA AIR berjenis Fokker. Juga terdapat Hercules dan Cesna sebagai angkutan barang, militer dan umum. Trigana Air dalam satu hari bahkan ada 3 penerbangan. Kalau mau ke Wamena tidak ada jalan darat apalagi transportasi laut, anda harus naik pesawat udara dengan pemandangan pepohonan yang lebat di Pegunungan Jayawijaya yang menakjubkan bagi siapapun.
Ini bukan Promosi tapi sekedar berbagi cerita yang pernah saya lihat dan amati di Wamena. Kalau tidak percaya, datang dan buktikan kata-kata saya………………….. SaMPAI JumPa.
*) Ditulis oleh Hasan Murodhi, ST, penulis adalah alumni Sipil ITS, bekerja sebagai Civil Enggineer Staff dari PT. GENERAL KONSULTAN di Jayapura. Tulisan ini dibuat sewaktu terlibat pada project Survey pendahuluan Proyek Irigasi Jayapura di DI. Elagaima dan Ibele 1500 Ha.
Kota Wamena dan sekitarnya di kabupaten Jayawijaya ini berada di Kelilingi Gunung daerah pegunungan Jayawijaya merupakan Kawasan tujuan wisata di prop. Papua dikarenakan keadaan alam yang indah dan masyarakat yang unik yang jarang dijumpai di Daerah lain di Nusantara.
Keadaan Topografi Lembah Baliem cukup rata sehingga di Kota Wamena banyak di jumpai becak seperti di Jawa. Jika dilihat dari pesawat udara akan terlihat Jayawijaya ibarat suatu kuali besar (lembah) diatas dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1550 meter diatas permukaan laut. Suhu cukup sejuk ….atau dingin, suhu rata-rata harian dalam satu tahun berkisar 190C. Jadi jangan lupa bawa jaket tebal untuk persiapan malam hari. Lembah ini dinamakan lembah baliem karena terdapat Sungai Baliem yang berliku-liku seperti ular. Anugrah sungai baliem ini meyebabkan derah ini cukup subur dan potensial dikembangkan menjadi areal persawahan dan perkebunan.
Ketika penumpang menginjakkan kakinya di Bandara Wamena setelah terbang 55 menit dari bandara Sentani Jayapura maka penumpang akan langsung disuguhi pemandangan alam yang luar biasa. Di dalam Kota dan sekitar bandara akan di jumpai masyarakat lokal yang masih tradisional, dengan berpakaian hanya mengenakan "koteka" yang hanya menutupi batang kemaluan laki-laki saja dan dikikatkan ke pinggang. Jika anda masuk ke desa-desa atau pedalaman masyarakat yang mengenakan koteka ini lebih banyak dijumpai. Anda pasti berfikir apakah mereka tidak kedinginan…..?.
Masyarakat di lembah baliem ini merupakan masyarakat agraris dengan bercocok tanam secara tradisional dan berpindah-pindah untuk memperoleh tanah subur atau humus pada lahan baru. Makanan pokok bagi masyarakat lokal yaitu Ubi jalar atau biasa disebut "Hipere". Mereka menjadikan "ipere" sebagai makanan pokok sejak nenek moyang mereka karena mudah di budidaya dan tidak memerlukan biaya perawatan. Selain ipere mereka juga menanam singkong, kacang panjang, jagung, dan padi. Padi banyak di jumpai di Daerah irigai elagaima (Muoai), Tulem, Muliama dan Holkima. Mereka menggunakan alat pertanian dengan kayu cangkang (kayu bengkok), parang dan sekop. Mereka tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Kampak digunakan untuk menebang pohon dan membelah kayu untuk kayu bakar dan pagar.
Areal ladang atau sawah sebelum ditanam dipagar keliling terlebih dahulu untuk menghindari gangguan hama dan babi ternak, dengan pagar yang cukup rapat dan unik. Pagar ini biasa disebut "Geler". Geler ini merupakan pagar yang khas di wamena. Geler terbuat dari kayu kasuari (sejenis cemara) yang kayunya amat keras. Kayu kasuari dibelah-belah dan ditancapkan ketanah kemudian di ikat satu sama lain dengan tali Kelokop (jagat) sejenis bambu tapi berukuran kecil. Pagar yang sudah jadi kemudian bagian atasnya ditutup dengan rumput kering dan akar-akaran agar kayu dan tali tidak mudah rapuh akibat perubahan cuaca atau hujan. Pagar ini dapat bertahan lama hingga mencapai 3 tahun.
Rumah adat masyarakat wamena yaitu berbentuk lingkaran dengan penutup alang alang yang cukup tebal (> 10 cm). Rumah ini disebut "HONAI", Honai ini sering dijadikan simbol rumah adat khas Papua. Jika anda masuk kedalam Honai ini maka didalam cukup hangat dan gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Dimalam hari mereka menggunakan penerangan kayu bakar di dalam honai dengan menggali tanah didalammnya sebagai tungku, selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika tidur mereka tidak mengunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.
Dalam satu komplek perumahan dihuni satu keluarga dan terdapat beberapa Honai. Jumlah Honai menandakan jumlah istri yang ada, di sini banyak dijumpai laki-laki lebih dari satu istri terutama kepala suku atau Ondoafi.
Babi ternak banyak dijumpai di Wamena, babi seolah sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Acara pernikahan umumnya maskawin dengan minimal 5 (lima) ekor babi dan satu buah Noken. (Noken adalah sejenis tas tradisional yang terbuat dari tali noken / kulit kayu). Tas noken biasanya digunakan sebagai tas multi fungsi, baik untuk membawa ipere, daun ipere atau perbekalan ke kebun / sawah. Tapi noken juga sering digunakan untuk menggendong anak bayi atau menggendong anak babi. Dahulu masih banyak dijumpai para wanita yang menyusui bayi babi.
Suku asal masyarakat Wamena adalah suku Dhani yang amat terkenal di seluruh papua karena kebiasaan berperang, yang konon katanya Suku Dhani dan Suku Asmat merupakan suku asli bumi Cendrawasih Papua. Mereka sangat lihai menggunakan panah dan ketapel. Selain panah dan ketapel dahulu kala mereka menggunakan parang yang terbuat dari batu dan pisau tusuk yang terbuat dari tulang–belulang. Tulang yang biasa digunakan adalah tulang kaki burung Kasuari. Namun perang suku saat ini sudah jarang terjadi, yang ada adalah Perang-perangan di dataran luas yang telah disediakan. Acara tarian tradisional dan perang-perangan dilaksanakan setahun sekali atau untuk menyambut tamu kehormatan. Acara ini sekarang dikemas semacam festival perang-perangan di ikuti oleh suku-suku di Wamena, untuk menggenang peristiwa perang suku yang biasa dilakukan nenek moyang mereka waktu dulu, sejaligus unjuk kehebatan yang dilihat para penonton. Acara ini "Perang-perangan" ini digelar setiap menyambut 17 Agustus untuk memperingati HUT Proklamasi dan dibiayai oleh pemerintah daerah dalam rangka menjaga tradisi dan budaya serta menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan mancanegara. Acara ini sangat unik dan menarik, banyak sekali di hadiri wisatawan asing dan mengabadikan dalam bentuk film, umumnya arus turis meningkat hingga hotel-hotel penuh dan harus memesan terlebih dahulu.
Selain alam, seni budaya, dan cara budidaya yang menarik di wamena adalah bahasa. Anda akan merasa asing dengan bahasa mereka. Namun saat ini mereka umumnya sudah dapat berbahasa Indonesia, bahkan sampai di daerah terpencil. Umumnnya mereka belajar bahasa Indonesia dari sekolahan dan gereja. Banyak dijumpai gereja disini, meskipun di Wilayah kota juga terdapat beberapa Masjid yang dibuat oleh para pendatang dan Tentara. Perbedaan agama dan adat tidak menjadi masalah bagi masyarakat Kota wamena atau Papua secara umum, mereka dapat membaur menjadi satu.
Jika anda berjalan-jalan di pelosok ada pantangan atau hal yang jangan anda lakukan yakni memanjat pagar geler tanpa permisi atau ijin, kencing atau berak di sungai, dan memotret tanpa ijin. Kalau handy camp gak apa-apa , mereka malah senang dikira bakalan masuk TV atau Koran Cepos.Mereka bisa marah dan berabe lho…………Kebiasaan mereka memanfaatkan air sungai secara langsung untuk minum dan mandi menyebabkan mereka amat menjaga kebersihan sumber air baku. Jika anda melanggar pantangan tersebut anda bisa kena denda dengan jumlah yang besar. Awas , Kalau mobil anda menabrak babi sampai mati siapkan aja uang dalam jumlah besar karena babi disini harganya lebih dari nyawa manusia.
Inilah sekilas tentang Wamena yang berada di Lembah Baliem, jika anda kesini seolah anda berada di dunia lain. Banyak obyek wisata menarik. Ada …… Sungai dan Muara baliem yang membentang luas bagaikan bengawan Solo yang banyak terdapat ikan dan udang bercapit besar (Udang selingkuh dengan kepiting), terdapat Orang ber"koteka", Rumah Honai dan pagar gelernya, ada Mummi yang berusia lebih dari 350 tahun lalu, pasar tradisional yang menjual hasil perkebunan rakyat". Fasilitas bagai wisatawan di kota Wamena cukup memadai. Disini transportasi cukup lancar baik angkutan umum dan becak dengan tarif yang murah, terdapat hotel mewah dengan tarif < Rp. 500 000 per hari dan hotel melati < 150 000 per hari, komunikasi juga cukup lancar disini sudah terdapat TELKOM dan Signal Simpati. Jangan kuatir kita dapat SMS setiap waktu, Pesawat dari Jayapura ke Bandara Wamena ada setiap hari yakni angkutan umum oleh MERPATI dan TRIGANA AIR berjenis Fokker. Juga terdapat Hercules dan Cesna sebagai angkutan barang, militer dan umum. Trigana Air dalam satu hari bahkan ada 3 penerbangan. Kalau mau ke Wamena tidak ada jalan darat apalagi transportasi laut, anda harus naik pesawat udara dengan pemandangan pepohonan yang lebat di Pegunungan Jayawijaya yang menakjubkan bagi siapapun.
Ini bukan Promosi tapi sekedar berbagi cerita yang pernah saya lihat dan amati di Wamena. Kalau tidak percaya, datang dan buktikan kata-kata saya………………….. SaMPAI JumPa.
*) Ditulis oleh Hasan Murodhi, ST, penulis adalah alumni Sipil ITS, bekerja sebagai Civil Enggineer Staff dari PT. GENERAL KONSULTAN di Jayapura. Tulisan ini dibuat sewaktu terlibat pada project Survey pendahuluan Proyek Irigasi Jayapura di DI. Elagaima dan Ibele 1500 Ha.
Tidak ada komentar: