Semua Berawal Dari Orainamba
Orainamba memang berbeda dengan pedalaman lainnya. Salah satu yang menjadi kendala terbesar adalah akses ke Orainamba dan sekitarnya yang tidak ada sama sekali. Baik akses melalui transportasi darat, sungai maupun udara. Bahkan pelayanan pemerintah ataupun gereja ke wilayah-wilayah itu pun belum ada.
Kampung Orainamba menjadi tujuan pelayanan Baliem Mission Center, setelah mendapat informasi dari seorang penginjil asal Paniai yang membawa misi penginjilan Gereja Kemah Injili Indonesa (GKII) yaitu Pdt. Petrus Giyai. Pada tahun 2010, Pdt. Petrus Giyai dalam perjalanan penginjilannya ke wilayah perbatasan antara Kabupaten Nabire di Provinsi Papua dengan Kaimana dan Teluk Wondama di Provinsi Papua Barat. Ia lalu menemukan sejumlah kelompok suku Mairasi yang masih terbelakang.
Atas informasi dari Pdt. Petrus Giyai, maka pada tanggal 13 Juni 2012, Direktur BMC John Wempi Wetipo memimpin satu tim kecil untuk bertolak dari Wamena untuk berangkat ke Orainamba. Tim ini mampir terlebih dahulu di Nabire untuk mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa, termasuk sejumlah bantuan kemanusiaan yang telah dikumpulkan dari anak-anak Tuhan di berbagai daerah. Tentu saja perjalanan itu menjadi sangat berkesan, karena tim maupun pilot helikopter yang mengantar tidak mengetahui koordinat pada peta tentang keberadaan Orainamba. Memang kordinat letak kampung tersebut belum dipetakan dalam Peta Papua, Peta Nasional maupun peta kelompok-kelompok misionaris yang melayani daerah-daerah pedalaman di pulau Papua.
Beruntung sebelum bertolak dari Nabire Pilot Erwin bersama pimpinan MAF di Nabire sempat membuka Peta Papua dan meminta Pdt. Petrus Giyai untuk menunjuk letak Orainamba. Atas informasi dasar tersebut, maka kedua misionaris ini kemudian mengukur posisi koordinat dan memasukan datanya ke dalam GPS helikopter.
Koordinat ini sebenarnya belum falid, sehingga dalam penerbangan perdana sang pilot harus membawa serta Pdt. Petrus Giyai untuk menjadi penunjuk arah. Sedikit konyol memang, tapi inilah sebuah fakta perjalanan awal yang harus dialami tim BMC sebelum tiba di Orainamba.
Selain Pdt. Giyai, tim (termasuk didalamnya Direktur Baliem Mission Center John Wempi Wetipo) sama sekali tidak mengetahui karakter suku setempat. Saat mendarat perdana di Orainamba kami harus turun dengan cara melompat dari helikopter dan pilot berkebangsaan Swiss itu kembali ke Nabire untuk mengangkut tim kedua.
Sesuatu bisa saja terjadi dan mengancam jiwa kami saat itu, apakah kami terjatuh dari helikopter atau diserang suku setempat, tetapi mukjizat Tuhan terjadi. Kami mendarat dengan selamat, aman dan disambut pula dengan ramah oleh satu keluarga kecil. Mereka ditinggalkan sukunya untuk menjaga dusun, karena sebagian besar dari penduduk sudah pergi berkebun dan berburu sekitar 3 minggu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kampung tersebut.
Keluarga kecil, hanya bertelanjang dada, yang terdiri dari satu kakek, seorang bapak, seorang ibu dan dua nenek serta tiga orang anak kecil dengan mengenakan cawat yang terbuat dari kulit kayu untuk menutupi aurat. Mereka tampak keheranan di pondok melihat kehadiran kami, karena baru pertama kalinya ada burung besi (helikopter) mendarat di dusun itu dengan sejumlah orang berpakaian yang berbeda dari mereka.
Komunikasi dengan mereka saat itu hanya melalui Pdt. Petrus, karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Anak-anak tumbuh dengan kondisi kesehatan yang memprihatinkan karena gizi yang rendah, mereka juga harus menggantungkan nasib pada langit, bumi dan isinya karena tidak pernah mengenal apa yang namanya sekolah ataupun peradaban modern.
Satu jam kemudian tim kedua tiba di Orainamba, helikopter yang sebelumnya hanya mendarat darurat di kebun warga, kini dapat mendarat di helipet yang telah kami bersihkan. Helipet ini ditumbuhi semak belukar dan pohon karena hampir setahun ditinggal pergi oleh Pdt. Petrus dan teman-teman sejak tahun 2011, yang saat itu berkunjung dengan berjalan kaki ke Orainamba.
Kampung yang sebelumnya sepi mulai berubah menjadi ramai dengan suara kami yang sibuk memasang satu unit Radio SSB dan Solarcell, yang memang sengaja dibawa dari Wamena untuk membuka akses komunikasi dari Orainamba keluar. Tidak lebih dari satu jam seluruh perangkat yang dipasang dapat beroperasi dengan baik.
Waktu kami hanya sehari di Orainamba, ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh tim BMC yang terdiri dari Dua Pimpinan di BMC, satu Dokter, dua Pendeta dan satu Wartawan TVRI Papua yang sengaja dibawa untuk dokumentasikan kegiatan awal di Orainamba.
Malampun tiba, satu persatu dari kami mulai bergegas menyiapkan tempat untuk beristirahat sambil menunggu mentari pagi bersinar kembali. Gelap, suara jangkrik dan burung malam menjadi teman kami tidur, sementara binatang-binatang liar lainnya seperti rusa dan babi berkeliaran di bawah rumah panggung tempat kami beristirahat.
Banyak hal-hal penting yang menjadi catatan dan pergumulan kami, mereka benar-benar terisolasi dari dunia luar. Dapat dibayangkan apa yang mereka rasakan dan yang kami saksikan adalah mereka tetap bertahan hidup dengan hanya berpakaian cawat serta hidup apa adanya.
Pilot Erwin memarkirkan helikopter di tengah hutan, ia menjadi orang pertama yang terbangun dan langsung mempersiapkan helikopter untuk membawa kami keluar dari Orainamba. Kamipun terbangun dari peraduan dan mulai mempersiapkan perlengkapan masing-masing untuk kembali ke Nabire. Seorang hamba Tuhan yaitu Pdt. Yunus Boby tetap tinggal untuk melayani warga sampai Baliem Mission Center kembali lagi pada kunjungan pelayanan berikutnya.
Kedua suku yakni Mairasi dan Weserau yang kami tinggalkan di Orainamba menaruh sejuta harapan atas kehadiran Baliem Mission Center di Orainamba. Semoga menjadi awal yang baik bagi mereka untuk bisa mengenal dunia luar dan dapat merasakan adanya sentuhan pembangunan serta perhatian dan perlakuan yang sama dengan saudara-saudaranya di daerah lain yang telah merasakan hidup sebagai seorang manusia di jaman yang serba modern ini.
Laporan Perjalanan Tim BMC
Tidak ada komentar: